Most Recent

Fungsi IPWL dan RSKPN
Berdasarkan sumber Indonesia saat ini tercatat sebagai Negara yang berada didalam kondisi darurat narkoba. Hal ini menyebabkan, Rehabilitasi Sosial Korban PenyalahgunaanNapza (RSKPN) menjadi kegiatan prioritas dari Kementerian Sosial.

Terdapat Delapan kegiatan yang menjadi prioritas utama bagi IPWL,  dimana delapan kegiatan ini menjadi elemen yang tak dapat terpisahkan dimulai dari berbagai upaya kontribusi untuk pencapaian tujuan dan sasaran strategis Kementerian Sosial, selama dalam kurung waktu empat tahun mendatang

Sebab RSKPN adalah sebuah kegiatan prioritas nasional, maka peningkatan penjangkauan dan pelayanan sangat mutlak dilakukan, termasuk diantaranya adalah penambahan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di daerah daerah.

IPWL memiliki kegunaan yang amat strategis diantaranya adalah sebagai salah satu wujud pelaksanaan kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak dasarn bagi segenap warga terlebih khusus untuk setiap para korban penyalahgunaan narkoba. 

Pada kenyataan yang terjadi adalah penambahan IPWL saja tidaklah cukup, sebab yang tidak kalah penting adalah upaya untuk meningkatkan kualitas kelembagaan, Sumber Daya Manusia (SDM), serta pelayanan dari IPWL tersebut.

Penguatan kelembagaan IPWL, salah satunya adalah mendorong agar terciptanya pelayanan yang sesuai dengan Standar Nasional dimana pelayanan ini masih dalam tahap proses penyempurnaan oleh Direktorat RSKPN, Kementerian Sosial.

Sedangkan, untuk peningkatan kualitas SDM sebagai pelaksana dari pelayanan di berbagai IPWL dilakukan  melalui pelatihan - pelatihan dan studi banding.

Harapan besar dengan kehadiran IPWL ini  adalah bisa bermakna dan bermanfaat sebesar-besarnya, sekaligus mampu meringankan beban korban narkoba dan keluarganya, termasuk dari keluarga kurang mampu.


Juga, pasca IPWL ini resmi dioperasikan, agar memberikan aura positif untuk usaha menjawab tantangan dan kebutuhan peningkatan kualitas jangkauan yang lebih baik serta bisa menyapa semua lapisan masyarakat. Acara akan diresmikan oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dan dihadiri oleh Bupati Minahasa, Staf Khusus Menteri Sosial, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Direktur Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA, Kepala BNN Provinsi Sulut, SKPD Provinsi Sulut dan masyarakat sekitar Kabupaten Rembokan Minahasa Sulawesi Utara, serta masyarakat.

Tyo cyber Senin, 06 Februari 2017
Masihkah Apatis Pada Kejahatan Narkoba ?
Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di berbagai wilayah Indonesia sudah merambah jauh kepelosok daerah. Bahkan kepala BNN RI, Komjen Budi Waseso berulangkali menegaskan bahwa saat ini peredaran narkoba sudah memasuki semua lini dan semua lapisan. Tidak peduli faktor usia, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, dan profesi juga bisa disusupi peredaran narkoba.

Selain itu, bahaya narkoba dapat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan baik dari segi kesehatan, sosial, ekonomi politik, budaya maupun keamanan. Akibatnya, terjadi peningkatan terutama dibidang peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba dari waktu ke waktu.

Secara nasional, diperkirakan pada tahun 2015 angka prevalensi pengguna narkoba mencapai 4,1 juta orang (2,2%) yang pernah pakai narkoba dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok usia 10-59 tahun. Untuk jenis narkoba yang banyak dikonsumsi dalam setahun terakhir tetap masih ganja. Sekitar 1 dari 5 orang penyalahguna masih tetap mengkonsumsi ganja (25%). Berikutnya shabu (12%), ekstasi (5%) dan tramadol (5%). Satu dari 8 orang penyalahguna mengkonsumsi shabu, sedangkan ekstasi dan tramadol lebih jarang lagi, yaitu 1 dari 20 orang.

Sedangkan jenis narkoba lainnya kurang dari 4%.Sedangkan Jumlah pecandu Narkoba yang mendapatkan pelayanan Terapi dan Rehabilitasi di seluruh Indonesia Tahun 2015 menurut data Deputi Bidang Rehabilitasi BNN adalah sebanyak 21.834 orang, dengan jumlah terbanyak pada kelompok usia 21 – 35 tahun yaitu sebanyak 12.166 orang atau sebesar 55,72%, tingginya penyalahguna Narkoba pada rentang usia ini dapat diakibatkan karena tingginya beban kerja yang dialami ataupun gaya hidup perkotaan dengan kehidupan malamnya. Jumlah penyalah guna Narkoba yang cukup tinggi berikutnya berada pada rentang usia 16-20 tahun sebanyak 4.590 orang atau sebesar 21,02%

Berdasarkan penggolongan kasus Narkoba Tahun 2015, terjadi trend peningkatan kasus Narkoba secara keseluruhan, peningkatan terbesar yaitu kasus narkotika dengan persentase kenaikan 23,58% dari 23.134 kasus di Tahun 2014 menjadi 28.588 kasus di Tahun 2015.

BNN Pusat mencatat, kerugian material diperkirakan sebesar lebih kurang Rp 63 triliun yang mencakup kerugian akibat belanja narkoba, biaya pengobatan, barang-barang yang dicuri, biaya rehabilitasi, dll. Itulah mengapa Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan telah mengingatkan bahwa Indonesia sekarang sedang dalam kondisi darurat narkoba.

Ironisnya, fakta diatas bukanlah sebuah prestasi yang patut kita banggakan, atau dengan kata lain bukanlah sebuah pencapaian positif negara yang pantas dibanggakan. Namun, persoalan penyalahgunaan narkoba menjadi sebuah kecemasan bagi keberlangsungan umat manusia dimasa sekarang ini.

Sikap Apatis.

Apatisme (apathy-Eng) yang diadaptasi dari Bahasa Yunani (apathes) secara harfiah berarti tanpa perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English: apathy is an absence of simpathy or interest. Dari pengertian diatas, apatisme, yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek. Sementara dalam wikipedia indonesia diartikan Apathy adalah kurangnya emosi, motivasi, atau entusiasme. Apathy adalah istilah psikologikal untuk keadaan cuek atau acuh tak acuh; di mana seseorang tidak tanggap atau “cuek” terhadap aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik

Arti yang lebih luas, apatisme adalah hilangnya rasa simpati masyarakat terhadap lingkungannya. Padahal masyarakat pada hakekatnya adalah sebuah kesatuan yang saling berikatan, sesuai dengan definisi masyarakat (society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.
Penulis melihat, dewasa ini kecenderungan masyarakat bersikap apatis terhadap sebuah persolan di masyarakat lebih banyak disebabkan karena permasalahan tersebut tidak ada hubungan langsung dengan individu masyarakat ataupun ketidaktahuan dari masyarakat itu sendiri.

Menurut Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba pada Kelompok Rumah Tangga di 20 Provinsi Tahun 2015 oleh Puslitdatin BNN RI tahun 2016 menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam upaya penanggulangan narkoba masih belum terlalu menggembirakan. Di sisi lain masih ada sekitar seperempat masyarakat yang merasa terancam bahaya peredaran narkoba di lingkungan tempat tinggalnya karena berbagai alasan seperti ada teman/tetangga yang pakai narkoba, ada yang meninggal karena narkoba, dan ada bandar/pengedar di lingkungan tempat tinggalnya.

Dengan kondisi demikian, tentu diperlukan intervensi program dan kegiatan yang mendorong agar masyarakat lebih peduli terhadap upaya penanggulangan narkoba bagi lingkungan sekitarnya.
Merujuk pengertian diatas, persoalan narkoba tidak akan kunjung usai jika setiap warga negara bersikap mendiamkan diri atau acuh tak acuh (Apatis) pada lingkungannya. Mantan Kepala BNN, Dr Anang Iskandar bahkan pernah mengatakan, siapapun yang apatis pada masalah narkoba di lingkungannya, maka loyalitas kebangsaannya patut diragukan.

Tidak salah Anang berbicara demikian, karena faktanya masalah narkoba telah menjelma menjadi persoalan besar bangsa yang butuh tangan-tangan peduli agar penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba hangus di muka bumi ini.

Apa yang harus dilakukan ?

Tidak menutup kemungkinan permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba saat ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, oleh karena itu perlu perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pihak baik pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat. selain itu diperlukan juga kerjasama secara sinergis agar permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dapat ditanggulangi dengan baik.

Penulis melihat, sampai saat ini sudah tak ada kata lain untuk berpangku tangan, mendiamkan, dan membiarkan peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat. Langkah yang baik adalah mulai berbuat dan mengerahkan semua tenaga dan pikiran dalam menangani permasalahan narkoba.

Sebagai salah satu opsinya adalah menanamkan sikap, gerakan stop apatis pada narkoba. Untuk itu, masyarakat kita perlu dilatih, dibina, dan dibuat peka terhadap persoalan narkoba. Karena, tanggung jawab mengatasi persoalan narkoba bukan terletak kepada BNN, Kepolisian, Pemerintah daerah saja.

Namun sesuai amanat Undang-Undang Narkotika No. 35 tahun 2009 pasal 104-108 tentang peran serta masyarakat, masyarakat diminta mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan narkoba di lingkunganya.

Hal yang mendasar yang bisa dilakukan dengan adalah, membangun kesadaran masyarakat dalam hal upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Masyarakat juga perlu diajarkan untuk berani, peka, dan melaporkan segala bentuk aktifitas yang dicurigai terjadi penyalahgunaan narkoba. Masyarakat perlu diajarkan agar mampu mendeteksi keberadaan para pembawa penyakit ini.

Penulis berharap kepedulian kita ini jangan sampai terlambat. Kadangkala kita terlambat menyadarinya sampai dalam sebuah kondisi dimana ada orang dekat kita (keluarga, tetangga, sahabat, lingkungan) terjerumus atau menjadi korban narkoba. Atau dalam ranah sosial, kita terlambat karena kita menjadi korban tindak kejahatan yang pelakunya merupakan pecandu narkoba. Disini yang lebih kita utamakan adalah upaya prefentif (mencegah) lebih baik daripada mengobati.

Penulis melihat, setiap orang berhak untuk jadi subjek Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran Gelap narkoba (P4GN), bukan lagi hanya sebagai objek semata. Maka dari itu perlu dilakukan suatu upaya dari berbagai pihak dan segenap elemen masyarakat, baik instansi pemerintah, swasta maupun organisasi sosial kemasyarakatan /lembaga-lembaga sosial masyarakat untuk bersama menangani penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Penulis meyakini, jika seluruh masyarakat peduli dan ikut membantu mensosialisasikan tentang bahaya narkoba, berani untuk melaporkan dugaan transaksi narkoba, dan menjadi kontrol maraknya peredaran Narkoba dalam kehidupan bermasyarakat sendiri pasti Indonesia bisa bebas dari peredaran Narkoba.
 
Penulis :
Oleh Afib Rizal, S.Sos, M.I.Kom

Jurnal data P4GN 2015 edisi 2016
https://theblackphantom9.wordpress.com/2010/12/27/apatisme-yang-berkembang-di-masyarakat/

Tyo cyber Rabu, 25 Januari 2017
Rp 72 Triliun Uang Rakyat Dihabiskan Beli Narkoba Dalam Setahun
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, konsumsi narkoba di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Betapa tidak, dalam setahun uang yang dibelanjakan narkoba tembus angka Rp 72 triliun.

“Bagaimana tidak serius urusan narkoba di Indonesia, dalam setahun saja bisa tembus angka yang sangat fantasitk yaitu Rp 72 triliun, ” ujar Mensos di Gedung Islamic Center Kabupaten Lampung Timur, Lampung, Minggu (4/9/2016).

Saat ini, kata Mensos, tidak kurang ada 5,8 juta orang menjadi korban narkoba dengan beragam jenis dan variannya. Dari jumlah tersebut, semua pihak harus bergandengan tangan agar tidak bertambah korban baru.

“Cukup sudah jumlah yang ada saja dilakukan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dan jangan ada penambahan korban – korban baru,” ucapnya.

Dari jumlah korban tersebut, betapa produktivitas suatu bangsa sangat dirugikan. Sebab, sebagian besar korban penyalahgunaan narkoba adalah mereka yang berusia produktif dari beragam profesi dan latar belakang sosial.

“Narkoba memiliki daya rusak yang luar biasa. Terlebih para korban penyalahgunaannya mereka yang berusia muda dan produktif dari beragam profesi dan latar belakang sosial, ” tandasnya.

Kementerian Sosial (Kemensos) sesuai tugas dan fungsi, yaitu melakukan upaya rehabilitasi sosial (rehabsos). Sedangkan, untuk rehabilitasi medis merupakan kewenangan dari Kementerian Kesehatan.

“Kami fokus melakukan rehabilitasi sosial yang dibantu dengan 160 Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di seluruh Indonesia yang di bawah koordinasi Kemensos, ” katanya.

Tahun ini, ada 15.430 korban penyalahgunaan narkoba yang direhabilitasi sosial di 160 IPWL. Sedangkan, 6000 direhabilitasi di luar panti dan berbasis masyarakat.

“Untuk tahun ini, ada 15.400 korban penyalahgunaan narkoba yang direhabilitasi sosial di panti dan 6000 di luar panti dan berbasis masyarakat, ” tegasnya.

Pada posisi tersebut, perlu bergandengan tangan semua warga bangsa untuk melawan narkoba, termasuk para tokoh masyarakat, pemuka agama, serta majelis taklim.

“Para tokoh masyarakat, religious leader, serta majelis taklim bisa menyisipkan dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti acara pernikahan, khitanan dan sebagainya tentang bahaya narkoba yang mengancam keamanan bangsa, ” katanya.

Gerakan dan kampanye "Say No to Drugs" bisa efektif mengurangi orang untuk mencoba dan menjadi korban-korban baru narkoba.  Sebab, sekali mengkonsumsi akan ada ketagihan dan sekali ketagihan akan menjemput maut.

“Perlu kampanye dan gerakan yang massif untuk melawan narkoba dengan masuk berbagai kegiatan keagamaan dan sosial di tengah-tengah masyarakat, ” terangnya.
(Tim Publikasi dan Pemberitaan Biro Humas)

Tyo cyber
Melawan Stigma, Setelah Pulih dari Ketergantungan
Yudha Rahmat Wijaya, bukan satu-satunya residen di Lembaga RBM Bumi Khatulistiwa. Ada puluhan residen lainnya bersama-sama berjuang melawan candu terhadap barang haram. Setelah pulih dari ketergantungan, residen masih dihadapkan dengan satu cobaan: stigma.
AGUS PUJIANTO, Pontianak 
TEMPAT rehabilitasi pecandu narkotika di Gang Nur 3 Jalan Gusti Hamzah Pontianak tampak biasa saja. Jika tidak ada baliho terpampang di beranda rumah, mungkin tempat ini dianggap rumah warga. Nyaris tidak ada fasilitas istimewa di tempat ini. 
“Biarpun kata orang rumah ini kecil, sederhana, tapi rumah ini ajaib bagi aku,” sebut Rani Kartika. 
Rani, usianya baru 26 tahun. Derita hidup Rani, tidak jauh berbeda dengan yang dialami Yudha. Perempuan kelahiran Kompleks Permata atau sebutan Kampung Ambon, Jakarta ini, mengaku 13 tahun bergelut dengan zat aditif. Dia juga tersadar setelah tak ada yang tersisa dari dirinya: keluarga, harta benda juga masa depannya.
Di rumah kontrakan yang dijadikan tempat rehabilitasi pecandu narkotika ini, ada puluhan residen seperti Rani dan Yudha di Lembaga RBM Bumi Khatulistiwa. Masing-masing dari mereka, punya masalah yang sama: narkotika. 
“Yudha yang paling tua. Sekarang dia dipercaya sebagai security. Dia juga jago masak. Tiap hari dia belanja sayur ke pasar,” kata Ketua Lembaga RBM Bumi Khatulistiwa M. Zaini Yahya. 
Di Lembaga RBM, ada 38 orang residen yang mengikuti perawatan. Terdiri dari 10 perempuan dan sisanya laki-laki. Golongan umur, juga bervariasi, mulai dari 14 tahun hingga 54 tahun, seperti Yudha. 
Setiap pagi, usai sarapan, puluhan residen duduk melingkar dalam satu ruangan. Di sana mereka melakukan terapi belajar mengungkapkan perasaan dan berdiskusi seputar isu negative di rumah. Yang diceritakan dari mereka, unik: ada yang membahas kondisi rumah berantakan, dan lain sebagainya, termasuk jika ada keluhan rekan sesamanya tidur larut malam. 
“Forum ini sangat sakral. Karena diawali dengan pembacaan doa perdamaian,” sebut Zaini. 
Ada banyak hal yang diceritakan residen dalam sesi morning meeting usai mengungkapkan perasaannya masing-masing secar bergiliran,  setelah itu ada sesi community concern. “Ada sesi minta maaf, motivasi dan penghargaan bagi mereka. Ada juga teguran langsung apabila ada hal yang negatif,” kata  Hendra Saputra, konselor BNN Kota Pontianak. 
Hendra, dulunya juga seorang residen (sebutan pecandu narkotika).  Dia juga mengikuti proses rehab sebelum akhirnya termotivasi untuk jadi konselor membantu pemulihan generasinya. Menurut dia, ada banyak fase yang harus dijalani setiap residen. Fase yang paling berat, primary.
“Fase paling berat primary. Banyak residen yang ndak tahan fase ini. Sebab melibatkan psikologi dan fisik. Kalau udah lewat fase ini, bisa pulih. Kalau ingin pulih dan sembuh dan mengubah segala sesuatu harus ada niat, itu dulu yang harus dikuatkan,” kata Hendra. 
Menjadi konselor bagi seorang residen, bukan perkara mudah. Selain butuh kesabaran ekstra, konselor ditutut piawai berkomunikasi. “Ngajarin pecandu lebih parah daripada balita. Kadang kencing sembarangan. Ada juga yang berkelahi hanya berebut bantal saat tidur,” sebut Hendra menceritakan.
Rata-rata, residen yang menjalani perawatan di RBM, datang dengan kesadaran masing-masing. Ada juga yang diantar orangtua. Menurut Zaini, setiap pecandu punya tiga hal: biologis, psikologis, dan sosial. 
“Ketiga aspek ini yang dikembalikan agar mereka pulih dan bisa menjadi orang yang bermartabat ketika sudah berbaur dengan masyarakat,” ungkap Zaini. 
Zaini sadar, stigma negatif di masyarakat masih melekat pada seorang residen. Tak sedikit pula, ada keluarga residen yang menolak mereka menerima mereka kembali setelah pulih. “Kami tak bisa menyalahkan masyarakat akan stigma yang melekat pada residen. Masih ada juga keluarga yang menolak, bahkan sampai tidak dianggap anak,” kata Zaini.  
Pencandu juga masih mengaku bersalah atas apa yang pernah dilakukan. Untuk menyatukan ikatan keluarga ini, RBM membuat fase family grup. Di sini, orangtua atau keluarga residen dihadirkan. Tujuannya agar menyatukan ikatan batin mereka. “Mereka ini (pecandu) butuh bantuan dari masyarakat untuk pulih. Bukan mendapatkan stigma buruk,” sebut Hendra. 
Sebagai sesama residen, Hendra mengaku sedih masih ada stigma buruk bagi residen. Dia mengaku kasihan, padahal pecandu narkotika adalah orang-orang yang sedang sakit. “Mereka butuh didekati dan butuh disupport, bukan mendapatkan stigma buruk,” ungkapnya. 
Hendra berpesan, agar jangan sekali-sekali mendekati narkotika. Dia juga mengajak masayarakat untuk merangkulnya. “Ingat Mereka juga sama dan berhak untuk mendapatkan kesempatan jadi lebih baik. Jangan menghukum dan menghujat meraka dengan stigma buruk.  Karena tak ada satu orang pun yang bercita-cita ingin menjadi pecandu. Mereka hanya salah melangkah. Hidup itu hanya dua pilihan: mau menjadi lebih baik atau sebaliknya, kitalah yg menentukan,” pesannya. (*/selesai)

Tyo cyber Selasa, 24 Januari 2017
Belum Ada Klien RBM Bumi Khatulistiwa yang Mengonsumsi Tembakau Gorilla
PONTIANAK - Ketua Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) Bumi Khatulistiwa, M Zaini Yahya menegaskan, pihaknya belum menemukan adanya klien yang ditangani sebagai pengguna dari Tembakau Gorilla.
"Sampai saat ini belum ada yang datang ke sini atau laporan ke kami ada mengkonsumsi Tembakau Gorilla. Yang pernah kami tangani pengguna lem, sabu, ganja, putaw, aprazolam (obat penenang), komix," ungkapnya, Senin (9/1/2017).
Zaini menjelaskan, pihaknya hanya berfokus memberikan penjangkauan, pembinaan dan pendampingan bagi korban NAPZA yang direhabilitasi.
"Kami hanya sebatas memonitor perkembangan Narkotika yang baru-baru ini diungkap BNN. Tugas kami hanya memberikan bantuan rehabilitasi bagi korban penyalahguna NAPZA," jelasnya.
Sejak tahun 2013 hingga Agustus 2016, RBM Bumi Khatulistiwa telah menangani sebanyak 241 klien yang menjalani rawat inap. Dengan rincian, laki-laki sebanyak 213 orang dan perempuan sebanyak 28 orang.
"Klien kami yang rawat jalan sebanyak 313 klien dengan rincian laki-laki sebanyak 220 dan perempuan 93 orang," paparnya.
Klien-klien yang ditangani untuk direhabilitasi di RBM Bumi Khatulistiwa, berasal dari seluruh Kabupaten/Kota di wilayah Kalbar.
"Bahkan sebagian ada yang dari luar Kalbar, seperti Aceh, Samarinda dan Kepulauan Natuna. Mereka datang ke sini untuk direhabilitasi," urainya.
Zaini mengkhawatirkan, meningkatnya pengguna narkotika jenis sabu-sabu di wilayah Kalbar. Dalam beberapa tahun terakhir, produk-produk Amphetamine Type Stimulan (ATS) terlihat meningkat masuk ke wilayah Kalbar.
"Hampir semua saat ini banyak korban yang mengkonsumsi sabu-sabu, terlihat sekali sangat masiv, karena barang ini mudah diperoleh, dari kalangan pelajar, mahasiswa, pekerja hingga swasta, semua mudah mendapatkan," tegasnya.
Untuk itu Zaini mengharapkan peningkatan kerja sama instansi-instansi terkait, dalam pemberantasan narkotika ini. Termasuk keterlibatan aktif di lembaga pendidikan. Karena saat ini, usia pelajar menjadi sasaran empuk narkoba.
"Kepada warga, kami harap tidak segan untuk menginformasikan jika ada keluarga ataupun warganya yang terindikasi sebagai pengguna narkoba. Agar segera dapat kembali dipulihkan melalui rehabilitasi," kata dia.

Tyo cyber
Konselor Adiksi Garda Depan Pendampingan IPWL
"Tantangan para konselor adiksi di masa datang akan lebih berat," ujar Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Dr.Marjuki, pada kegiatan Bimtek Pelaksanaan Tugas Konselor Adiksi di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) di Hotel Aston Bekasi (7/12/2016). Tahun 2017 Kementerian Sosial akan membuat MoU dengan Lembaga Pemasyarakatan,sehingga dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial akan diperlukan konselor adiksi yang handal dalam bidang rehabilitasi sosial koreksional,tandasnya. Keterampilan konseling dan asesmen,penjangkauan, dan pendampingan menjadi yang harus dikuasai para konselor dalam rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan Napza,jelas Marzuki. "

 "Meningkatnya pengetahuan,wawasan,dan keterampilan konselor adiksi dalam rehabilitasi sosial Penyalahgunaan Napza adalah salah satu tujuan dari pada kegiatan bimtek ini," ujar Direktur RS Penyalahgunaan Napza, Drs.Waskito Budi Kusumo,M. Si., pada pembukaan kegi atan tersebut. Budi juga mengatakan kalau kegiatan bimtek konselor tahap II ini berlangsung selama 4 (empat) hari, mulai tanggal 7 s/d 10 Desember 2016 diikuti oleh 325 orang yang berasal dari 123 IPWL di 28 provinsi yang ada di Indonesia.

Prayitno,AKS (Kasubdit Kelembagaan dan Sumber Daya) mengatakan bahwa pada tahun 2017 nanti jumlah konselor adiksi akan menjadi 1.200 orang yang sebelumnya berjumlah 1.300 orang, itu berarti akan ada pengurangan 100 orang yang mekanismenya melalui laporan dan kinerja para konselor yang kurang baik dalam melaksanakan tugasnya selama di IPWL.

Diharapkan pada kegiatan Bimtek ini,para konselor mampu meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA dan secara khusus di bidang NAPZA dituntut lebih dalam hal pengetahuan dan keterampilan dan pemecahan masalah klien dengan keluarga  dan masyarakat, ujar Sri Harijati, Kasi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Sumber Daya.***(Penata Dok. Setditjen Rehsos)

Unknown Senin, 16 Januari 2017
Bahayanya Tembakau Gorilla Narkoba Jenis Baru
Tembakau cap gorila mungkin saat ini sudah mulai dikenal, khususnya dikalangan mahasiswa, dan pelajar. Namun bagi yang belum mengenalnya pasti akan bertanya-tanya “Apa Itu Tembakau Cap Gorila?”. Apa benar itu dari tembakau? Bagi yang penasaran tentang itu perlu kiranya terlebih dahulu mencari tahu apa itu tembakau. Tembakau adalah salah satu produk pertanian semusim yang diproses dari daun tanaman, terutama dari genus nicotiana. Tembakau dapat bermanfaat sebagai pestisida dan bahan baku obat. Jika dikonsumsi, umumnya dibuat menjadi ROKOK, dan tembakau kunyah.

Mendengar kata rokok, tentunya sudah mengenal bukan. Bahwa produksi tembakau menjadi rokok dewasa ini telah tumbuh berkembang menjadi suatu industri, dan keberadaannya telah menghadirkan kontroversi ilmiah yang dimulai sejak pertengahan abad ke-20. Namun agar tidak meluas pembahasannya, kontroversi tersebut tentunya tidak perlu diperdebatkan disini, digantungkan saja pada pendekatan masing-masing. Setidaknya pemerintah kita sudah melaksanakan upaya pengendalian produksi tembakau bagi kesehatan, literaturnya dapat dilihat melalui Undang-Undang Nomor: 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU 36/2009), dan Peraturan Pemerintah Nomor: 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109/2012). Intervensi Pemerintah melalui produk hukum tersebut diantaranya mewajibkan setiap orang yang memproduksi atau memasukan rokok mencantumkan peringatan kesehatan, dan mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah menerapkan kawasan tanpa rokok.

Sementara bagaimana dengan tembakau super cap gorila, apakah Pemerintah juga sudah melakukan kebijakan pengendaliannya? Jika menyimpak pada uraian sebelumnya, tentunya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa produk-produk rokok itu berbahaya bagi kesehatan, sehingga perlu dilakukan pengendaliannya. Oleh karenanya tiada pengecualian pula untuk tembakau super cap gorila. Berdasarkan literatur media online yang diperoleh, maka akan diperoleh keterangan bila tembakau super cap gorila ini disebut-sebut bisa membuat penikmatnya mengalamai efek “seperti tertimpa gorila” atau tidak bisa menggerakan tubuhnya. Adapun efek samping sementara yang diketahui, dapat menyebakan gangguan saraf (tremor) dengan ciri-ciri tangan gemetar, berkeringat dan kesemutan

Lantas, bagaimana tindakan Pemerintah kita menyikapi hal tersebut? Keterangan yang diperoleh melalui media online pula menyatakan bila tembakau super cap gorila ini diduga dicampur oleh zat kimia, dan melalui pihak terkait, yakni Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Besar Slamet Pribadi mengatakan, BNN tengah menelusuri masalah tembakau gorila ini. "Laporan (kasus) ini belum ada, tetapi masalah ini sudah disampaikan ke Deputi Pemberantasan," ujar Slamet. Polisi mengaku, belum dapat menindak pengedar ataupun penjual tembakau cap Gorilla. Meski telah berhasil menangkap salah satu pengguna, polisi tidak bisa menghukum lantaran belum ada aturan yang mengikat peredaran tembakau memabukkan tersebut. Zat kimia yang terkandung di dalam tembakau itu juga tidak terdaftar di daftar zat berbahaya yang ditetapkan Badan Narkotika Nasional (BNN). "Kita pernah menangkap pengguna tembakau cap Gorilla, namun setelah dia menjalani tes urine, tidak terbukti mengandung DHC atau yang lain. Jadi, hanya direhabilitasi," kata Kepala Satuan Narkoba Polres Metro Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Hando Wibowo. Meski tak terdaftar di BNN, Hando membenarkan bahwa tembakau jenis itu memang memberi efek seperti mengonsumsi obat-obatan terlarang

Namun dalam keterangan lainnya, ditemui pula persama dan perbedaan mengenai tembakau super cap gorila. Persamaanya, sama-sama memberikan keterangan membuat penikmatnya mengalamai efek “seperti tertimpa gorila”, sedangkan perbedaannya, diperoleh keterangan jika tembakau super cap gorila bukanlah dicampur dengan zat kimia, melainkan 100% tiga bahan natural/organik: Cengkeh + Lion’s Tail + Wild Dagga

Berdasarkan keterangan tersebut diperoleh pula kesimpulan jika merokok daun dagga dapat berdampak bagi kesehatan, sehingga eksistensi diperlukan pula pengendaliannya. Tidak elok jika pihak terkait Pemerintah kita melalui aparat penegak hukumnya mengatakan bila peredaran tembakau super cap gorila ini tidak dapat dilakukan penindakan dengan alasan tidak terdaftar sebagai zat berbahaya yang ditetapkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN).

Bukankah telah jelas jika tembakau super cap gorila ini telah memberikan dampak bagi kesehatan, dan sudah sepantasnya tembakau super cap gorila dan sejenisnya tidak dibiarkan bebas beredar untuk dikonsumsi sebagai rokok tanpa pengendalian. Hal ini sebagaimana amanat dalam Pasal 199 ayat (1) UU 36/2009, yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Frase “...peringatan kesehatan berbentuk gambar...” dimaksud tentunya bukan sekedar gambar biasa, melainkan harus memenuhi kriteria yang telah diamanatkan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor: 41 Tahun 2013 tentang Pengawasan Produk Tembakau Yang Beredar, Pencantuman Peringatan Kesehatan Dalam Iklan dan Kemasan Produk Tembakau, dan Promosi.

Pengendalian tembakau lainnya jika merujuk pula pada ketentuan UU 36/2009, tidak melepaskan pula sanksi bagi para penikmatnya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan amanat Pasal 199 ayat (2) UU 36/2009, yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Amanat hukum demikian seyogyanya tetap ditegakan demi memenuhi rasa keadilan, jangan menunggu peredaran tembakau super cap gorila beredar dan berdampak sedemikian luas bagi kesehatan dikalangan masyarakat Indonesia, atau apa perlu menunggu terlebih dahulu negara ini menetapkan “status darurat tembakau super cap gorila”

Sumber tulisan

Tyo cyber