Melawan Stigma, Setelah Pulih dari Ketergantungan

Yudha Rahmat Wijaya, bukan satu-satunya residen di Lembaga RBM Bumi Khatulistiwa. Ada puluhan residen lainnya bersama-sama berjuang melawan candu terhadap barang haram. Setelah pulih dari ketergantungan, residen masih dihadapkan dengan satu cobaan: stigma.
AGUS PUJIANTO, Pontianak 
TEMPAT rehabilitasi pecandu narkotika di Gang Nur 3 Jalan Gusti Hamzah Pontianak tampak biasa saja. Jika tidak ada baliho terpampang di beranda rumah, mungkin tempat ini dianggap rumah warga. Nyaris tidak ada fasilitas istimewa di tempat ini. 
“Biarpun kata orang rumah ini kecil, sederhana, tapi rumah ini ajaib bagi aku,” sebut Rani Kartika. 
Rani, usianya baru 26 tahun. Derita hidup Rani, tidak jauh berbeda dengan yang dialami Yudha. Perempuan kelahiran Kompleks Permata atau sebutan Kampung Ambon, Jakarta ini, mengaku 13 tahun bergelut dengan zat aditif. Dia juga tersadar setelah tak ada yang tersisa dari dirinya: keluarga, harta benda juga masa depannya.
Di rumah kontrakan yang dijadikan tempat rehabilitasi pecandu narkotika ini, ada puluhan residen seperti Rani dan Yudha di Lembaga RBM Bumi Khatulistiwa. Masing-masing dari mereka, punya masalah yang sama: narkotika. 
“Yudha yang paling tua. Sekarang dia dipercaya sebagai security. Dia juga jago masak. Tiap hari dia belanja sayur ke pasar,” kata Ketua Lembaga RBM Bumi Khatulistiwa M. Zaini Yahya. 
Di Lembaga RBM, ada 38 orang residen yang mengikuti perawatan. Terdiri dari 10 perempuan dan sisanya laki-laki. Golongan umur, juga bervariasi, mulai dari 14 tahun hingga 54 tahun, seperti Yudha. 
Setiap pagi, usai sarapan, puluhan residen duduk melingkar dalam satu ruangan. Di sana mereka melakukan terapi belajar mengungkapkan perasaan dan berdiskusi seputar isu negative di rumah. Yang diceritakan dari mereka, unik: ada yang membahas kondisi rumah berantakan, dan lain sebagainya, termasuk jika ada keluhan rekan sesamanya tidur larut malam. 
“Forum ini sangat sakral. Karena diawali dengan pembacaan doa perdamaian,” sebut Zaini. 
Ada banyak hal yang diceritakan residen dalam sesi morning meeting usai mengungkapkan perasaannya masing-masing secar bergiliran,  setelah itu ada sesi community concern. “Ada sesi minta maaf, motivasi dan penghargaan bagi mereka. Ada juga teguran langsung apabila ada hal yang negatif,” kata  Hendra Saputra, konselor BNN Kota Pontianak. 
Hendra, dulunya juga seorang residen (sebutan pecandu narkotika).  Dia juga mengikuti proses rehab sebelum akhirnya termotivasi untuk jadi konselor membantu pemulihan generasinya. Menurut dia, ada banyak fase yang harus dijalani setiap residen. Fase yang paling berat, primary.
“Fase paling berat primary. Banyak residen yang ndak tahan fase ini. Sebab melibatkan psikologi dan fisik. Kalau udah lewat fase ini, bisa pulih. Kalau ingin pulih dan sembuh dan mengubah segala sesuatu harus ada niat, itu dulu yang harus dikuatkan,” kata Hendra. 
Menjadi konselor bagi seorang residen, bukan perkara mudah. Selain butuh kesabaran ekstra, konselor ditutut piawai berkomunikasi. “Ngajarin pecandu lebih parah daripada balita. Kadang kencing sembarangan. Ada juga yang berkelahi hanya berebut bantal saat tidur,” sebut Hendra menceritakan.
Rata-rata, residen yang menjalani perawatan di RBM, datang dengan kesadaran masing-masing. Ada juga yang diantar orangtua. Menurut Zaini, setiap pecandu punya tiga hal: biologis, psikologis, dan sosial. 
“Ketiga aspek ini yang dikembalikan agar mereka pulih dan bisa menjadi orang yang bermartabat ketika sudah berbaur dengan masyarakat,” ungkap Zaini. 
Zaini sadar, stigma negatif di masyarakat masih melekat pada seorang residen. Tak sedikit pula, ada keluarga residen yang menolak mereka menerima mereka kembali setelah pulih. “Kami tak bisa menyalahkan masyarakat akan stigma yang melekat pada residen. Masih ada juga keluarga yang menolak, bahkan sampai tidak dianggap anak,” kata Zaini.  
Pencandu juga masih mengaku bersalah atas apa yang pernah dilakukan. Untuk menyatukan ikatan keluarga ini, RBM membuat fase family grup. Di sini, orangtua atau keluarga residen dihadirkan. Tujuannya agar menyatukan ikatan batin mereka. “Mereka ini (pecandu) butuh bantuan dari masyarakat untuk pulih. Bukan mendapatkan stigma buruk,” sebut Hendra. 
Sebagai sesama residen, Hendra mengaku sedih masih ada stigma buruk bagi residen. Dia mengaku kasihan, padahal pecandu narkotika adalah orang-orang yang sedang sakit. “Mereka butuh didekati dan butuh disupport, bukan mendapatkan stigma buruk,” ungkapnya. 
Hendra berpesan, agar jangan sekali-sekali mendekati narkotika. Dia juga mengajak masayarakat untuk merangkulnya. “Ingat Mereka juga sama dan berhak untuk mendapatkan kesempatan jadi lebih baik. Jangan menghukum dan menghujat meraka dengan stigma buruk.  Karena tak ada satu orang pun yang bercita-cita ingin menjadi pecandu. Mereka hanya salah melangkah. Hidup itu hanya dua pilihan: mau menjadi lebih baik atau sebaliknya, kitalah yg menentukan,” pesannya. (*/selesai)

Tidak ada komentar